Saturday, January 3, 2009

Rock N Roll

Di mana-mana bercokol pandangan klise tentang rock 'n' roll, musik yang berkali-kali disangka mati tapi usianya ternyata bahkan lebih panjang daripada kebanyakan penganut fanatiknya. Satu di antaranya seperti ditulis oleh seseorang yang mengaku bernama Taryn di craftygal.com berikut ini.

"Dibesarkan di rumah (keluarga) Baptis fundamentalis, saya besar dengan mendengarkan Gaither Trio, Sandi Patti, dan Amy Grant. Saya tak pernah keberatan... mungkin karena saya tak tahu apa yang saya lewatkan.

"Musik rock baru benar-benar masuk rumah sewaktu saya berusia sembilan tahun. Abang saya... bergabung dengan (penjual rekaman) Columbia House sebagai aksi pemberontakan terbuka. Apa yang dimulai dengan Cyndi Lauper dan Madonna lalu beralih ke Van Halen dan Bon Jovi, dan kemudian berkembang ke Duran Duran, Tears for Fears, The Eurythmics, dan Depeche Mode.

"Mulanya, perasaan saya terhadap kemajuan kebiasaannya dalam mendengarkan musik itu seperti menggemakan kepanikan ibu saya.... Saya tak tahu pasti mengapa, tapi saya yakin benar bahwa dia dalam bahaya besar."

Bahaya adalah kata yang merujuk pada pengertian umum. Bahaya apa? Pertanyaan ini membawa kita ke pokok masalah yang sebenarnya. Taryn meringkaskannya: Rock 'n' roll dianggap sebagai hasil karya iblis, sebuah skema besar untuk mengubah remaja kita menjadi budak pecandu seks dan narkoba.

Sepanjang setengah abad usia rock 'n' roll, dua hal itu memang isu yang paling menyedot perhatian, sekaligus kecemasan. Sampai detik ini.

Wajar hal itu terjadi. Sejak gagasan tentang kebebasan dan antikemapanan dari generasi counter culture merasuk ke dalam rock 'n' roll pada 1960-an, muatan seks dan narkoba dalam rock 'n' roll pun terus meningkat. Orang malah cenderung lupa bahwa rock 'n' roll juga soal pemberontakan. Ada banyak tulisan dan buku yang diterbitkan khusus untuk membahas "invasi" itu, misalnya Mammoth Books of Sex, Drugs and Rock 'n' Roll, kumpulan artikel suntingan Jim Driver (Carroll & Graf Publishers, 2001).

Kalangan antirock, yang tumbuh sebagai reaksi terhadap pesatnya laju popularitas rock 'n' roll, gigih berusaha membongkar "kejahatan" di balik semua itu. Banyak hal dilakukan, di antaranya bahkan dengan menunjukkan adanya pesan rahasia iblis yang bersifat sublim di dalam rekaman lagu-lagu rock 'n' roll yang diputar terbalik. Semuanya, baik langsung maupun tak langsung, ikut menempa kesan orang yang cenderung stereotipe bahwa rock 'n' roll bukan saja dekadensi, tapi juga... anti-Tuhan.

Tudingan itu tak sepenuhnya benar. Memang, di luar sana ada deretan artis dengan sepak terjang ugal-ugalan, liar, dan seolah datang dari dunia gelap, yang membuat orang percaya bahwa rock 'n' roll bukan untuk orang baik-baik. Misalnya Gene Simmons (Kiss), Ozzy Osbourne (Black Sabbath), atau Nikki Sixx dan Tommy Lee (Motley Crue). Tapi, mengutip Mark Joseph di bab pembukaan bukunya, Faith, God & Rock 'n' Roll (Sanctuary, 2003), "Baik para penentang maupun pendukung awal rock tampaknya tak pernah mengantisipasi bahwa orang-orang beriman suatu hari bakal muncul berbondong-bondong dan menginvasi arus utama rock 'n' roll."

Joseph menghimpun semua bukti dan pengakuan sejumlah artis rock dari masa kini, yang sebagian besar biasa lalu-lalang di layar MTV. Ia menghidangkan profil mereka. Dengan ini, ia sekaligus juga menunjukkan bahwa "orang-orang beriman itu sudah muncul" dan perubahan yang diakibatkannya "berlangsung begitu cepat".

Fokus perhatian Joseph adalah tren di Amerika Serikat, dan contoh yang dikemukakannya sebagian besar berasal dari lingkungan Kristen. Meski begitu, tanpa menyebutnya secara khusus, ia sesungguhnya tak menafikan bahwa pesan-pesan spiritual dan iman dalam rock 'n' roll bisa datang dari mana saja dan dari artis berlatar belakang agama lainnya, atau bahkan artis yang tak mengklaim sebagai penganut agama tertentu.

Mengenai hal itu, Dave Mustaine, pendiri dan pemimpin grup metal Megadeth, menuliskan kata-kata ini dalam pengantar pendeknya untuk buku Joseph: "(Buku) Faith, God & Rock 'n' Roll berisi tentang orang-orang yang mungkin saja tak menyebut diri mereka Kristen, tapi mencintai Tuhan dan berusaha membuat perbedaan di dunia yang indah tapi penuh orang jahat dan masalah buruk."

Joseph memaparkan dengan penuh warna lebih dari selusin artis atau grup secara sadar berusaha membuat perbedaan itu. Di antara mereka ada Creed, POD, Lifehouse, Gary Cherone (bekas vokalis Extreme dan Van Halen), Lenny Kravitz, Six Pence None the Richer, Lauryn Hill, bahkan trio Destiny's Child dan video jockey Carson Daly.

Mungkin ada yang merasa surprised melihat daftar itu. Joseph sendiri tadinya bahkan mengabaikan POD, padahal sudah mewawancarai mereka. Ia juga tak pernah tahu sebelumnya bahwa dari Tallahassee, Florida, ada Creed. Tapi ini bisa dimaklumi. Bahkan penggemar Creed pun, khususnya yang bukan dari kalangan Kristen, pasti tak menyangka di dalam lagu-lagu grup ini ada sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan untuk merevitalisasi hard rock dari masa 1970-an.


Didirikan pada 1995, Creed melompat pesat dari bukan apa-apa hingga sukses menjual jutaan kopi dari tiga albumnya. Marc Shapiro, penulis biografi sejumlah artis, mendokumentasikan perjalanan karier grup yang semula terdiri atas Scott Stapp (vokal), Mark Tremonti (gitar), Brian Marshall (bas), dan Scott Phillips (drum) ini dalam Creed: From Zero to Platinum (St. Martin's Griffin, 2000). Riwayat Creed tamat pada Juni 2004, ketika Stapp memutuskan keluar.

Dalam usianya yang pendek, Creed hampir identik dengan Stapp--meskipun sebenarnya Tremonti berperan besar juga dalam penulisan lagu. Datang dari keluarga yang sangat anti-rock 'n' roll (ayahnya pendeta Pantekosta), Stapp meninggalkan kuliahnya untuk bermain musik sekalipun harus berkonflik dengan ayahnya, yang ingin Stapp jadi misionaris. Untuk Creed, Stapp menyumbangkan lirik-lirik yang mengandung dan merefleksikan pandangan Kristen terhadap persoalan-persoalan dunia.

Stapp tak pernah berterus terang mengakui bahwa ia memang mengawinkan rock dengan spiritualitas Kristen, kecuali kepada wartawan yang tak berprasangka dan tak sinis sejak awal. Selain berniat menghindari salah persepsi, ia memang sengaja membendung cap sebagai "rock Kristen", yang bisa menjadi jaminan bencana bagi grup mana pun karena terbatasnya audiens.

"Sebuah band Kristen punya agenda untuk membimbing orang lain agar percaya pada keyakinan agamanya. Kami tak punya agenda seperti itu. Saya menulis lirik... ketika saya bertanya bagaimana saya dibesarkan, dan mencari pijakan berkaitan dengan keyakinan itu. Saya belum meninggalkan keyakinan itu, hanya sedang mencari (waktu) kapan semuanya klop dengan hidup saya," kata Stapp.

Boleh percaya boleh tidak. Tapi, kenyataannya, pesan-pesan spiritual dari Alkitab bertebaran di lagu-lagu Creed. Ada yang berbicara ihwal peran Yesus (Faceless Man), antiaborsi (In America), prokehidupan (With Arms Wide Open), atau doktrin tentang surga (Higher). Simaklah nyanyian Stapp dalam Higher (dari album Human Clay):

When dreaming guided into another world

time and time again

As sore eyes I fight to stay asleep

cause I don't want to leave the comfort of this place

Cause there's a hunger longing to escape

from the life I live when I'm awake

...

Can you take me higher

To a place where blind men see

Can you take me higher

To a place with golden streets

Pesan tentang iman dan Ilahi juga bisa disimak di Alive, lagu milik grup rap-rock POD yang kebetulan dirilis pada hari ketika serangan terorisme mengguncang Amerika Serikat, 11 September 2001. Di tengah gemuruh riff gitar yang bertubi-tubi dan gebukan drum yang menderu, Sandoval menyanyikan lirik ini pada bagian chorus:

I feel so alive

For the very first time

I can't deny You

Berbeda dengan Creed, POD sudah lebih dulu bergerilya "di bawah tanah", terutama di lingkungan Kristen. Dibentuk di Sand Diego, California, pada 1992 dan dimotori oleh Sonny Sandoval (vokal), Traa Daniels (bas), Marcos Curiel (gitar), dan Noah "Wuv" Bernardo (drum), POD sempat memperoleh tawaran kontrak rekaman dari sebuah label Kristen. Karena merasa bahwa menerima kontrak itu tak sejalan dengan misi mereka, Sandoval dan kawan-kawannya menolak. Atlantic Records, satu label besar, mengontak mereka tak lama kemudian.

Para awak POD memang sengaja menghindari berkarya di bawah label Kristen. "Kami bukan band agama. Kami band rock dengan pesan spiritual," kata Daniels. Menurut dia, tema-tema cinta, harapan, dan saling hormat yang ada dalam lagu-lagu mereka "bukan semata masalah Kristen, itu masalah kemanusiaan, itulah yang seharusnya Anda rasakan mengenai manusia pada umumnya, tak peduli Anda Kristen atau bukan".

Creed, POD, Gary Cherone, Lifehouse, trio Destiny's Child, dan beberapa yang lain sudah sejak awal setia pada keyakinannya dan berusaha menyampaikan pesan universal tentang kemanusiaan, Tuhan, dan kehidupan "lain" kepada audiens dan penggemar. Di luar mereka, ada artis yang baru belakangan "kembali ke jalan yang benar". Untuk kelompok kedua ini bisa disebut contoh bintang R&B dan hiphop Lauryn Hill, serta Alice Cooper (alias Vincent Furnier), ikon rock pada 1970-an yang mengilhami grup seperti Kiss dan penyanyi seperti Marilyn Manson (alias Brian Warner) yang memproklamasikan diri sebagai "Superstar Anti-Kristus".

Para artis itu membawa gagasan tentang iman dan Ilahi tidak dari ruang hampa. Di samping latar belakang keluarga, atau termotivasi oleh pengalaman spiritual setelah lama "tersesat", ilham dari para pendahulu tak boleh diabaikan. Joseph menyebut contoh U2, grup Irlandia yang mulai populer pada 1980-an. Yang tak ditunjukkan oleh Joseph, pengaruh itu bisa datang bahkan dari masa yang lebih jauh. Mengapa tidak? Sebab, fenomena masuknya pesan spiritualitas--kalaupun bukan iman--dalam rock 'n' roll sesungguhnya sudah berlangsung bahkan sejak 1960-an.

The Beatles adalah grup yang harus disebut sebagai pelopor. Lewat Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967), album yang meletakkan fondasi bagi perkembangan dan eksperimen dengan rock 'n' roll pada 1970-an, grup asal Liverpool, Inggris, ini menyentuh masalah spiritualitas dalam lagu Within You Without You. George Harrison, penciptanya, antara lain menuliskan larik ini dalam lagu dengan nuansa Timur (India) itu:

When you've seen beyond yourself

then you may find peace of mind is waiting there

And the time will come when you see

we're all one and life goes on within you and without you.

Album Sgt. Pepper's mengobarkan gairah di kalangan anak muda pencari kebenaran dan kedalaman makna hidup (Steve Morley, Crossroads: When Rock Music Intersects the Gospel, 2004). Grup-grup yang mencoba untuk membetot lebih jauh jangkauan dan kemungkinan rock 'n' roll pun datang seperti gelombang pasang (di kemudian hari hasil karya mereka dikategorikan sebagai genre progressive rock). Spiritualitas termasuk tema yang paling banyak peminatnya.
Yes termasuk di antara grup yang tampak di laar radar dalam urusan itu. Reputasinya tak terbantahkan. Berkat Jon Anderson, vokalis dan penulis lirik utamanya, grup yang didirikan di London pada 1968 ini bisa menyanyikan lagu-lagu yang banyak bertutur tentang masalah kosmis dan keabadian. Coba simak komposisi kaya tekstur Heart of the Sunrise (dari album Fragile), atau epik sepanjang 17 menit Close to the Edge (dari album berjudul sama) yang secara samar menyingkap betapa agungnya kekuatan di luar manusia, atau sekalian album ambisius Tales from Topographic Oceans.

Anderson tak mengelak tentang semua itu. Dan inilah pandangannya tentang kecenderungannya pada spiritualitas: "Kita semua ini orang spiritual. Orang Islam itu spiritual. Pemeluk Buddha itu spiritual, Zen. Semua sungai bertemu di samudra yang sama."

Grup yang terhitung telat melompat di gerbong yang sama pada 1970-an adalah Kansas. Grup asal Topeka, Kansas, yang mempopulerkan Dust in the Wind ini bahkan sangat artikulatif memasuki wilayah "rock bertema Kristen", yakni setelah Kerry Livgreen dan Dave Hope, dua di antara pendirinya, terlahir kembali sebagai pemeluk Kristen pada 1979. Livgreen mulai menulis lirik tentang pengalaman spiritualnya. Usahanya tak berumur panjang. Konflik internal pecah, dan Kansas dibubarkan pada 1983--lalu dibentuk lagi tiga tahun kemudian dengan peruntungan yang sudah sangat berbeda.

Livgreen tak sepenuhnya menimpakan nasib Kansas dan eksperimennya yang kandas pada perbedaan pendapat internal. Menurut dia, hal itu juga "bagian dari siklus alami--selera dan gaya berubah setiap saat". Lebih penting lagi ia menunjuk berubahnya iklim budaya. "Dalam lirik dan lagunya, Kansas memotret tema spiritual dan menantang secara intelektual. Kansas mencoba menggapai ke atas, sementara budaya kita tergelincir ke bawah," katanya.

Pernyataan itu bisa jadi berlebihan dan cenderung mendegradasikan perkembangan rock 'n' roll pada 1980-an. Tapi tak bisa disalahkan juga bila orang memang melihat kenyataan betapa tema-tema spiritualitas, apalagi keimanan, seperti lenyap terkubur gemerlap industri pop yang profan dan baru muncul kembali belakangan ini, seperti digambarkan Joseph ataupun di luar itu. Di antara kebingungan yang bisa timbul, Mustaine sekali lagi membantu kita. Katanya, melalui Peace Sells, satu lagu Megadeth, "Apa maksudmu aku tak percaya kepada Tuhan? Aku berbicara kepada-Nya setiap hari."